Rabu, 17 Agustus 2011

Kemerdekaan dalam persepsi Islam


 Bila ada makhluq yang selalu cenderung kepada kebebasan, baik dalam tingkah laku, bergaul serta menjalankan seluruh akitifitasnya, lalu selanjutnya menuntut kemerdekaan bagi diri dan bangsanya, maka manusialah namanya.
Manusia merupakan salah satu makhluq Allah S.W.T yang lain dari pada yang lain. Allah telah menganugerahinya keinstimewaan tersendiri yang tak mungkin bisa didapatkan pada makhluq-makhluq lainnya.
Berbicara tentang keistimewaan manusia, pasti tak akan terlepas dari isi kandungan firman Allah dalam surat Al-Isro : 70 :
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Qs. Al Isro’ : 70)
Selain ilmu dan akal, diantara bentuk kemuliaan dan kelebihan manusia atas makhluq-makhluq lain, menurut sebagian para mufassirin adalah kecenderungannya untuk berada di atas segala-galanya, artinya ia selalu ingin menang dan  berkuasa, serta sangat anti sekali dengan penindasan dan penjajahan (Tafsir Bahrul Muhith 6/59)
Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan kunci kemuliaan manusia, ia tak akan lebih utama dari makhluq-makhluq lain sebelum ia terbebas dari penjajahan. Maka tak mengherankan jika kemerdekaan merupakan kebutuhan pokok manusia, bahkan lebih pokok dari sandang pangan.
Demikian sakralnya masalah ini, sehingga berlomba-lombalah para ahli dalam menafsirkan makna kemerdekaan, sebagian mereka menyalahi sebagian yang lain, hingga kesemuanya tak membuahkan hasil kecuali menambah kesimpang siuran pengertian kemerdekaan.
Terlepas dari itu semua, Islam telah menetapkan pengertian baku yang tak membutuhkan tambal sulam mengenai hal ini.

 Hakekat Kemerdekaan
Kemerdekaan dalam ajaran Islam adalah suatu potensi yang dapat membawa dan menunjuki manusia kepada al-haq (Kebenaran), artinya al-haq selalu setali tiga uang dengan kemerdekaan. Seseorang belum bisa dikatakan berada dalam al-haq sebelum ia merdeka., sebaliknya orang yang masih dijajah pasti tak akan bisa mengamalkan kebenaran, baik sebagian maupun secara keseluruhan. Al-haq yang dimaksud adalah “At tauhid” yaitu peribadatan kepada Allah S.W.T dengan mengamalkan 100% ajaran Islam. Alhasil kemerdekaan menurut Islam adalah pembebasan manusia dari ibadah kepada makhluk menuju ibadah kepada Pencipta makhluq.
Pengertian ini, tentu saja ada dasarnya. Dalam sebuah atsar disebutkaan, ketika Rib’I bin Amir, salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qodishiyah ditanya tentang perihal kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab, “Allah mengutus kami untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan manusia kepada Rob manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidak adilan agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Al Jihad Sabilnua – 119)
Ajaran Islam, ternyata, memandang kemerdekaan bukan dari satu sisi saja, melainkan dari semua sisi, baik dari segi dhohiriyah maupun bathiniyah. Hingga bisa dikatakan, bahwa seluruh ajaran Islam bertujuan untuk memproklamirkan kemerdekaan umat manusia.

Islam, Pahlawan Kemerdekaan

Manusia, tak pelak lagi, memang berbeda dari makhluq-makhluq lain. Selain telah dikaruniai akal dan pikiran, manusia juga selalu terlahir ke dunia dalam keadaan fitroh. Artinya tak seorangpun yang terlahir ke dunia ini kecuali telah bersaksi bahwa Allah adalah Robbnya dan Islam merupakan Dien-nya. Jadi, manusia awal mulanya berjiwa muslim lagi merdeka. Akan tetapi ketika memulai kehidupannya di dunia orang tuanyalah yang sangat berpengaruh apakah kelak agama sang anak. Rasulullah S.A.W bersabda
كُلُّ مَوْلُوْدٌ يُوْلَدُ عَلَى فِتْرَهُ فَاَبَوَّاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِسَا نِهِ
Setiap anak terlahir dalam keadaan fitah, maka orang tunaya yang menjadikannya seorang yahudi, nashrani, atau majusi” (Shohih Muslim).
Nah pada saat seperti inilah kemerdekaan manusia terampas, karena jiwa keislamannya lenyap. Di sini Nampak jelas peranan dakwah Islam dalam menjaga manusia dari segla potensi yang dapat mengharu biru jiwa kemerdekaannya.
Islam membentengi jiwa manusia dari tipuan dan rayuan iblis yang selalu merongrong al-haq serta dari bisikan-bisikan nafsu syahwat yang sering mengajak kepada kebobrokan moral dan budi pekerti. Selain itu, Islam mengeluarkan manusia dari segala system kehidupan yang tidak bersumber dari wahyu Ilahi, karena system yang demikian tidak membawa manusia kecuali kepada kehancuran jiwa dan raga. Bahkan Islam juga mengobarkan semangat juang kaum muslimin untuk menghadapi pasukan musuh, hidup atau mati, kemenangan bagi yang hidup, jannah bagi yang syahid.
Salah Kaprah
“The Freedom”, kata pepatah, “Is a gold”. Paling tidak ini berlaku untuk kemerdekaan dalam kaca mata Islam. Tapi dapatkah anda membayangkan, jika pepatah ini disalah artikan?, Mungkin inilah yang sedang terjadi sekarang, banyak kalangan menilai dirinya sudah merdeka, padahal sebenarnya ia berada pada puncak penjajahan.
Jalan tol kesalahpahaman mulai terkuak ketika hati manusia lalai akan kebenaran wahyu ilahi. Maka tak mengherankan, jika ada yang beranggapan bahwa ditarik mundurnya pasukan musuh dari wilayah perbatasan adalah awal kemerdekaan suatu bangsa. Aneh memang, tapi beginilah realita saat sekarang. Ditarik mundurnya pasukan musuh dari suatu negeri bukan satu-satunya syarat kemerdekaan bangsa tersebut. Ya … bisa dikatakan ia merupakan ciri paling nampak dari suatu kemerdekaan.
Karena penjajahan terhadap suatu negeri, bukan hanya karena dibom bardirnya negeri tersebut oleh pasukan musuh, akan tetapi corak dan ragamnya banyak sekali, dan bahkan lebih buruk dibanding hal di atas.
Apa untungnya kepulangan pasukan musuh ke negerinya, kalau system pemerintahan dan undang-undang musuh masih kita terapkan di negera kita ?, Kalau demikian adanya, bukankah sebenarnya kita masih tetap dijajah, walau tak pakai acara bom sana, bom sini?
Juga apalah artinya kalimat proklamasi kemerdekaan kita ulang-ulang terus, kalau hati kita masih tetap tunduk dan ta’at kepada bujuk rayu iblis dan hawa nafsu kita?. Memang, entah karena tidak tahu, lupa atau disengaja, masalah ini dilupakan oleh generasi sekarang. Tapi yang jelas, ada tangan di balik layar.
Perlu dipertegas di sini, bahwa penjajahan terhadap suatu negeri bukan hanya karena hadirnya pasukan musuh di negeri tersebut untuk membom bardir wilayah-wilayahnya, akan tetapi banyak ragamnya.

Macam-macam Penjajahan
Sebenarnya, penjajahan (dalam arti yang sebenarnya) merupakan upaya untuk menjauhkan dan sekaligus menghalangi manusia untuk mengamalkan ajaran Islam, atau dengan kata lain, sebelum manusia bisa mengamalkan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) berarti ia masih terjajah.
Iblis adalah penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Karena ia tak pernah meluangkan waktunya sesaatpun kecuali digunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan Islam. Kebencian iblis terhadap manusia dimulai ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk sujud kepada Adam, padahal ia merasa dirinya lebih sempurna dari Adam, ia diciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Sejak saat itu iblis mengikrarkan dirinya menjadi musuh manusia number one.
Dalam surat Al-A’rof disebutkan, iblis menjawab :
“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
Iblis menjajah manusia melalui bujuk rayuannya yang sudah tentu dipoles dengan cover-cover yang berbau ilmiyah, untuk menjauhi dan bahkan memusuhi ajaran dan syari’at Islam. Hingga tak ayal lagi, sebagian besar umat manusia dari dulu sampai sekarang telah tertipu oleh propagandanya. Maka sudah seharusnya kita tidak menjadikan musuh kita sebagai teman atau pembimbing melainkan harus dijadikan musuh pula.
“Sesungguhnya syetan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (QS. Al Faathir : 6)
Penjajah manusia yang tidak kalah bahayanya terhadap jiwa manusia adalah nafsu dan syahwatnya, yang selalu mengajak kepada kejelekan.
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf : 53)
Kita mengenal ada dua potensi buruk yang terdapat dalam jiwa manusia.
Yang pertama, nafsu amarotun bis suu’ (jiwa yang selalu condong kepada kejelekan). Potensi ini kalau tidak segera dikalahkan, akan membawa manusia ke jurang kebinasaan.
Yang kedua, nafsu lawwamah (jiwa yang selalu goncang). Jiwa yang demikian ini kalau tidak selalu diarahkan, akan banyak mengerjakan kejelekan dan tak menutup kemungkinan bisa meningkat menjadi nafsu amarotun bis suu’.
Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi dengan memperbanyak pendidikan ruhiyah (rohani).
Dunia, tak ketinggalan, telah menampakkan kedigyantaraannya dalam menjajah jiwa manusia. Penjajah yang satu ini, tak puas-puas membikin ulah, padahal hampir semua darah yang tertumpah dipermukaan bumi, atas namanya.
Ya… cinta dunia adalah racun dalam kehidupan umat manusia. Karena seorang yang cinta dunia pasti telah membuang cintanya kepada Allah, demikian pula sebaliknya, seseorang yang cinta Allah pasti tak ada sedikitpun dunia yang menempel di hatinya.
Di antara racun dunia yang paling berbahaya bagi umat manusia adalah fitnah wanita. Karena fitnah inilah Bani Isroil jatuh ke lembah kehinaan. Selain itu, kekayaan dan tahta juga tidak kalah bahayanya. Orang yang telah terjajah oleh dunia, tak akan bisa menggunakan akal fikirannya secara normal. Padahal akal pikiran merupakan salah satu sisi yang membedakan seseorang dengan hewan. Jika sudah demikian, tak ada lagi yang membedakan manusia dengan hewan.
Ketika Rosulullah s.a.w diminta oleh seseorang untuk menunjukkan suatu amal yang dicintai oleh Allah s.w.t, beliau bersabda : “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai Allah dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimilki manusia, nsicaya engkau akan dicintai manusia.” (Uddatu ash shobirin dan dzakhiratu asy syakirin, Ibnul Qoyyim).
Penjajah manusia berikutnya adalah system kehidupan yang tidak mencerminkan nuansa keislaman, karena tidak bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bentuk konkrit dari penjajah ini bisa berupa undang-undang dasar atau system pemerintahan jahiliyah yang terdapat dalam suatu negeri. UUD yang tidak Islami, apabila diikuti dan dita’ati, hanya akan membawa kehancuran bagi umat manusia, kebenaran akan dikatakan kebathilan, sehingga ia akan terus dikejar-kejar, diusir bahkan dicap subversive. Sebaliknya kebatilan dijunjung tinggi, hingga ia mendapatkan lahan subur, yang tidak hanya dibiarkan tumbuh berkembang dengan sendirinya, melainkan dipupuk, dipertahankan serta diperjuangkan dengan harta dan  jiwa.
Pemerintahan dengan system dan UUD jahiliyah adalah penyesat manusia dari golongan manusia. Karena kita hanya mengenal dua penyesat kehidupan ini, yang satu dari golongan jin, yaitu iblis dan pengikutnya, dan yang lain dari golongan manusia.
Masyarakat dalam system ini telah diprogram sedemikian rupa, supaya membenci dan memusuhi syari’at Islam. Berbagai propaganda telah dikibarkan guna mewujudkan angan-angan busuk ini. Media masa merupakan senjata ampuh mereka, di samping bangku-bangku pendidikan, untuk melicinkan jalannya mega proyek ini.
Sehingga tak pelak lagi, umat semakin jauh dari hidayah Islam. Kebenaran menjadi bahan cemooh, sedang kebatilan, ibarat mendapat angin segar, telah menjadi tuntutan umum.

Last but not least, bentuk penjajahan berikutnya, yang juga merupakan bentuk yang paling umum dan sudah dimaklumi oleh khalayak ramai, yaitu ketika adanya invasi (serangan) pasukan musuh ke wilayah Negara tertentu, guna merampas dan menghancurkan fisik Negara tersebut.
Meskipun demikian, tentu saja hal ini  tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya bentuk penjajahan terhadap diri manusia, karena penjajahan, sebagaimana telah disebutkan di atas banyak sekali ragamnya. Akan tetapi sebagian besar masyarakat kita buta akan hal ini.
Mengikuti peribahasa “ada gula ada semut”, musuh-musuh Islam tak membiarkan kesempatan emas ini hilang begitu saja. Mereka tidak rela, kalau kaum muslimin terbangun dari kebodohannya yang berkepanjangan. Karenanya, mereka giat menanamkan doktrin-doktrin sesat dalam benak kita sejak dalam buaian hingga ke liang lahat. Kita dipaksa untuk meyakini, bahwa sekarang kita telah merdeka, karena musuh telah angkat kaki dari bumi pertiwi.
Wallahu a’lam





2 komentar: